Jakarta, Kompas - Peredaran obat ilegal di pasaran membuat konsumen harus jeli membedakan obat yang ilegal dan legal agar tidak tertipu dan mengonsumsi obat ilegal. Namun, pengenalan atas obat yang legal masih sebatas melihat kemasan.
Kepala Pusat Penyelidikan Obat dan Makanan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Rumonda Napitupulu, Kamis (27/1), mengatakan, konsumen perlu cermat membedakan obat yang layak konsumsi atau tidak.
”Sebenarnya, metode terbaik adalah melalui pemeriksaan laboratorium. Untuk masyarakat awam, satu-satunya jalan agar terhindar dari obat palsu adalah membeli obat dengan resep dokter di apotek terpercaya,” kata Rumonda.
Selain itu, konsumen juga perlu memeriksa kemasan obat dengan teliti. Pemeriksaan kemasan obat itu terkait nomor registrasi obat, segel obat, kemasan utuh atau bocor, label obat, nama obat, produsen, tanggal kedaluwarsa, serta nomor batch.
Rumonda mengatakan, nomor batch dan tanggal kedaluwarsa tercetak pada kemasan dan menggunakan tinta yang tidak mudah luntur. Namun, pengenalan nomor batch juga membutuhkan keahlian tertentu untuk mengetahui barang itu asli atau tidak.
Dia meminta konsumen untuk berkonsultasi lagi ke dokter jika tidak ada kemajuan setelah meminum obat. Begitu pula jika terjadi keluhan tertentu setelah mengonsumsi obat tertentu.
Dia mengakui peringatan keras kepada masyarakat mengenai bahaya konsumsi obat ilegal serta penyuluhan di masyarakat mengenai cara mengenali obat ilegal adalah salah satu cara untuk memberantas obat palsu.
Jika menemukan kejanggalan tertentu di kemasan obat, konsumen dapat mengadukan temuan itu ke unit layanan pengaduan konsumen BPOM di Jalan Percetakan Negara Nomor 23, Jakarta Pusat, atau menghubungi nomor telepon 426333. Konsumen juga dapat mengirim surat elektronik ke ulpk@pom.go.id atau mengadukan ke Balai POM di masing-masing daerah.
Meracuni konsumen
Kepala Departemen Farmasi Universitas Indonesia (UI) Yahdiana Harahap mengatakan, peredaran obat dan suplemen palsu dapat membahayakan konsumen. Sebab, barang-barang itu berasal dari bahan limbah yang seharusnya dimusnahkan karena telah kedaluwarsa.
Senyawa pada obat dan suplemen kedaluwarsa kemungkinan besar berubah. Perubahan ini bisa dari senyawa yang mengobati sakit menjadi senyawa membahayakan kesehatan. Dampak paling buruk bahkan dapat meracuni penggunanya.
”Batas kedaluwarsa obat ditentukan melalui penelitian medis. Obat itu diperkirakan bertahan dalam waktu tertentu dan dari pengaruh luar seperti suhu udara,” kata Yahdiana.
Dia mencontohkan, suplemen vitamin C yang kedaluwarsa bisa teroksidasi karena pengaruh lingkungan. ”Jika hal ini terjadi, suplemen itu terurai menjadi senyawa lain sehingga memicu terbentuknya batu ginjal pengguna,” kata Yahdiana.
Dia menyayangkan peredaran bahan limbah medis ke pasaran. Seharusnya, limbah medis tidak boleh diperjualbelikan karena pendistribusian barang seperti ini diatur hukum. Pihak yang sengaja menjual barang limbah ke pasaran dapat menghadapi proses hukum. Begitu juga lembaga usaha resmi yang sengaja menjual bahan limbah medis.
”Pemerintah dapat mencabut usaha dan memutus kerja sama pengolahan limbah,” katanya.
Menurut dia, sulit membedakan obat dan suplemen palsu dengan produk resmi. Secara kasat mata, kedua produk ini sama persis. Sebagaimana informasi yang dihimpun Kompas, dua produk ini tidak berbeda. Pembuat obat dan suplemen palsu memakai bahan limbah kedaluwarsa. Mereka hanya mengganti kemasan limbah obat dan suplemen, kemudian memasarkan lagi. Pembuat obat palsu juga mengganti batas kedaluwarsa menjadi dua tahun ke depan.
”Saya sendiri tidak dapat membedakannya. Satu-satunya jalan adalah dengan menguji di laboratorium. Masyarakat awam sulit melakukan hal itu,” kata Yahdiana.
Iskandar (31), pegawai swasta di Depok, khawatir dengan obat murah di pasaran. Jangan-jangan obat yang dia konsumsi bukan produk resmi. Dia sering mengonsumsi salah satu merek obat yang dipalsukan seperti diberitakan media. (NDY/ART)
Sumber : Kompas Cetak